Rabu, 16 Desember 2015

HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM


1 . PENGERTIAN HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.

Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. 

2  . HUKUM HUTAN PIUTANG

Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini.
Dalam firman Allah swt yang artinya :

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”

Nabi saw juga bersabda:

“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)

 3 . PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG

Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw bersabda: 

“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).

Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda: 
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Di sisi lain allah memperingati aturan yang tegas dalam utang piutang yang merupakan bagian dari transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). 
Ketegasan aturan ekonomi tersebut tercemin dalam firman Allah Q.S an-nissa ayat 29 yang artinya :

Wahai orang orang yang beriman,janganlah kamu memakan harta yang beredar di antaramu secara bathil, kecuali terjadi transaksi suka sama suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat sayang kepadamu semuanya.

Salah satu transaksi yang termasuk bathil adalah pengambilan ribba. Riba berdasarkan penjelasan para mufasir, baik dalam definisi maupun gambaran praktis di mass jahilliyah, menurut Qardhawi (2001: 76-78)
 Maka riba yang di maksud dapat di definisikan sebagai berikut ;
a.       Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam dan hutang piutang
b.      Ada tambahan dari pokok pinjaman dalam tahap pelunasan
c.       Tambahan dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu dan di perhitungkan sesuai dengan limit waktu peminjaman

Dalam perspektif ekonomi, (Razi, 1938 : 87-88) mengemukakan ulasan yang cukup baik dalam mengungkap sebab dilarangnya riba. Sebab-sebab tersebut antara lain :
1.      Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa adaimbalan. Boleh saja orang berdalih bahwa keuntungan akan diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada orang lain itu dijadikan modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu sifatnya belum pasti. Sebaliknya, pemungutan“tambahan” oleh pemberi pinjaman itu adalah hal yang pasti, tanpa resiko.
2.      Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan mudahmembiayai hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan distorsi dalammasyarakat.
3.      Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya, tidak segan meminjam uang walaupun sangat tinggi bunganya. Hal ini akan mengelmiinir Sifat tolong menolong, saling menghormati dan perasaan berhutang budi.
4.      Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam akan semakinmiskin. Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk menindas orang miskin.
5.      Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia tuntutannyadiketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang tidak mengetahui persissegi pelarangannya

4. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHALEH

a.     Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
b.    Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
c.    Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
d.    Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Barang siapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allahakan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia danakhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di duniadan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong  saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) .



5. ADAB HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
a.       Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Firman Allah swt :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
b.      Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.
c.       Melunasi utang dengan cara yang baik
d.      Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
e.       Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
f.       Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
g.      Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
h.      Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
i.        Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
j.        Bersegera melunasi utang
k.      Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.












Senin, 14 Desember 2015

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KOSNSUMEN


1.      Pengaruh lingkungan
Terdiri dari budaya, kelas sosial, keluarga dan situasi. Sebagai dasar utama perilaku konsumen adalah memahami pengaruh lingkungan yang membentuk atau menghambat individu dalam mengambil keputusan berkonsumsi mereka.
2.      Perbedaan dan pengaruh individu
Terdiri dari motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demografi. Perbedaan individu merupakan faktor internal yang menggerakan serta mempengaruhi perilaku konsumen.
3.      Proses psikologi
Terdiri dari pengolahan informasi, pembelajaran, perubahan sikap dan perilaku. Ketiga faktor tersebut menambah minat utama dari penelitian konsumen sebagai faktor yang turut mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengambil keputusan pembelian.

  PROSES PENGAMBIL KEPUTUSAN KONSUMEN DAN PERILAKU PEMBELIAN

Proses sederhana pengambilan keputusan melalui tiga tahap yaitu:        

1. Input adalah proses pertama dari konsumen, berikut adalah unsur-unsurnya:
  • Usaha pemasaran perusahaan: produk, promosi, harga, saluran distribusi.   
  •  Lingkungan sosial budaya: keluarga, sumber informasi, sumber nonkomersial, sumber sosial,  subbudaya dan budaya
2. Proses terdiri dari tiga komponen yang saling berkaitan:


  •  Faktor psikologis: Motivasi, persepsi pengetahuan, kepribadian, dan sikap.
  •  Pengenalan kebutuhan, penyelidikan pembelian, evaluasi terhadap kebutuhan
  •  Pengalaman dalam prakteknya, bias berasal dari output dan mempengaruhi faktor psikilogis dalam proses.
3. Output merupakan pembelian yang di putuskan, evaluasi setelah pembelian. Ini akan menjadi kontribusi pentinh dalam unsure pengalaman di tahap proses, yang pada akhirnya akan mempengaruhi faktor psikologis dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.