1 . PENGERTIAN HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
2 . HUKUM HUTAN PIUTANG
Hukum
Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang
memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah
hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah
sebagaimana berikut ini.
Dalam firman
Allah swt yang artinya :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil
dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw
pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau
membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan
unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau
bersabda,“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang
paling baik dalam mengembalikan utang.”
Nabi saw juga
bersabda:
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada
sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR.
Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh
Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389).)
3 . PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Ketegasan aturan ekonomi tersebut tercemin dalam firman Allah Q.S an-nissa ayat 29 yang artinya :
Wahai orang orang yang beriman,janganlah kamu
memakan harta yang beredar di antaramu secara bathil, kecuali terjadi transaksi
suka sama suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat sayang kepadamu
semuanya.
Maka riba yang di maksud dapat di definisikan sebagai berikut ;
a.
Riba
itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam dan hutang piutang
b.
Ada
tambahan dari pokok pinjaman dalam tahap pelunasan
c.
Tambahan
dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu dan di perhitungkan sesuai dengan limit
waktu peminjaman
1.
Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain
tanpa adaimbalan. Boleh saja orang
berdalih bahwa keuntungan akan diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada
orang lain itu dijadikan modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu sifatnya belum
pasti. Sebaliknya, pemungutan“tambahan” oleh pemberi pinjaman itu adalah
hal yang pasti, tanpa resiko.
2.
Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan
mudahmembiayai hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan distorsi dalammasyarakat.
3.
Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya,
tidak segan meminjam uang walaupun
sangat tinggi bunganya. Hal ini akan mengelmiinir Sifat tolong menolong, saling menghormati dan perasaan berhutang
budi.
4.
Dengan riba,
pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam akan semakinmiskin.
Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk menindas orang miskin.
5.
Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia tuntutannyadiketahui oleh manusia.
Keharamannya itu pasti, kendati orang tidak mengetahui persissegi pelarangannya
4. SYARAT PIUTANG
MENJADI AMAL SHALEH
a.
Harta yang diutangkan adalah harta yang
jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan
sesuatu yang haram.
b. Pemberi piutang / pinjaman tidak
mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun
perbuatan.
c. Pemberi piutang/pinjaman berniat
mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho
dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar
kebaikannya oleh orang lain).
d. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan
tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang
siapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia,
Allahakan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan
urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan
di dunia danakhirat. Barangsiapa menutup ‘aib
seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di duniadan akhirat. Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut
menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) .
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
a. Utang
piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Firman Allah swt :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
b. Pemberi
utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berutang.
c. Melunasi
utang dengan cara yang baik
d. Berutang
dengan niat baik dan akan melunasinya
e. Berupaya
untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang
halal.
f. Tidak
berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
g. Tidak
boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
h. Jika
terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
i.
Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik
mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
j.
Bersegera melunasi utang
k. Memberikan
Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya
setelah jatuh tempo.